Minggu, 30 Oktober 2016

Tentang Komunikasi Massa

Ciri-ciri Pers :


1. Publisitas

Publisitas yaitu sebuah penyebaran kepada publik atau kepada semua orang. Karena diperuntukan untuk semua orang, maka sifat surat kabar yaituumum. Isi surat kabar terdiri dari berbagai hal yang berkaitan dengan suatu kepentingan umumartinya pers ditujukan atau disebarkan kepada khalayak dengan sasaran yang sangat heterogen, baik dari segi geografis maupun psikografis

2. Universalitas

Ciri surat kabar ini bisa dilihat dari kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia. Sebuah penerbitan berkala yang isinya untuk mengkhususkan diri pada suatu profesi atau aspek kehidupan, seperti Majalah Kedokteran, Arsitektur, Koperasi atau pertanian, tidak termasuk surat kabar.

3. Periodisitas
Periodisitas ialah Terbitnya surat kabar ini bisa satu kali sehari, dua kali sehari atau satu kali atau dua kali seminggu. Seperti buku biasanya, tidak disebarkan secara periodik, tidak teratur hal ini dikarenakan terbitnya tidak teratur. Jadi dalam penerbitan seperti buku tidak memiliki ciri periodisitas meskipun disebaran pada semua orang dan isinya menyangkut suatu kepentingan umum.artinya pers harus terbit secara teratur dan periodik. Periodesitas mengedepankan irama terbit, jadwal terbit, dan konsistensi atau keajekan.
 4. Aktualitas
Menurut kata aslinya Aktualitas yang arinya “Kini” dan keadaan sebenarnya. Keduanya erat sekali disangkut pautkan dengan sebuah berita yang disiarkan surat kabar. Tetapi yang dimaksudkan dengan aktualitas sebagai ciri surat kabar ialah suatu kecepatan laporan tanpa menyampingkan pentingnya suatu kebenaran berita.

5. Objektivitas
Merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh olen surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.



3 Pilar Penguat Pers


1. Idealisme. Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional melaksanakan peranan sebagai: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan; c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan infoemasi yang tepat, akurat, dan benar; d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Maknanya, bahwa pers harus memiliki dan mengemban idealisme. Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakkan nilai0nilai demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, adalah contoh idealisme yang harus diperjuangkan pers. Dasarnya, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU no 40 tahun 1999, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

2. Komersialisme. Pers harus mempunyai kekuatan dan keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita itu, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya. Agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi kepada kepentingan komersial. Seperti ditegaskan pasal 3 ayat (2) UU no 40 tahun 1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan kaidah ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Secara manajerial perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apapun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal.

3. Profesionalisme. Profesianalisme adalah isme atau paham yang menilai tinggi keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan. Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi lima ciri berikut: a. memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khusus di bidangnya; b. mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi yang layak sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya; c. seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi; d. secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya; e. memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa luar biasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya; f. tidak semua orang mampu melaksanakan pekerjaan profesi tersebut karena untuk menyelaminya mensyaratkan penguasaan ketrampilan atau keahlian tertentu. Dengan merujuk kepada enam syarat di atas, maka jelas pers termasuk bidang pekerjaan yang mensyaratkan kemampuan profesionalisme.

Sistem Pers Di Indonesia

1. Menurut Para akhli :

      Sebelum kita membahas tentang sistem pers di Indonesia, sebenarnya apakah pers itu? Menurut Anom (2011, h.102) pers merupakan salah satu media massa tertua sebelum lahirnya filem, radio dan televisi. Sebagai media cetak, pers berperanan dalam memperjuangkan dan memperkukuhkan kemerdekaan sesebuah negara untuk menyebarkan dan memantapkan perkembangan ekonomi, politik, dan budaya. Sedangkan menurut Undang Undang pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) yakni Pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Menurut Saptohadi ( 2011, h.130) pers merupakan salah satu media massa tertua sebelum lahirnya filem, radio dan televisyen. Sebagai media cetak, pers berperanan dalam memperjuangkan dan memperkukuhkan kemerdekaan sesebuah negara untuk menyebarkan dan memantapkan perkembangan ekonomi, politik, dan budaya.

Indonesia pernah menganut sistem pers otoriter dan sistem pers liberal sebelum akhirnya menganut sistem pers tanggung jawab sosial. Ketika masa orde baru, pers Indonesia sempat menganut sistem pers otoriter, dimana Pemerintah pada masa itu mengontrol seluruh kegiatan pers, mulai dari keharusan memiliki SIUPP bagi lembaga pers, kontrol isi yang amat ketat terhadap pemberitaan pers sampai dengan seringnya kasus pembredelan terhadap media yang dianggap mengganggu stabilitas, ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat dan negara. Kebebasan pers berada di tangan pemerintah. Pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada sistem politik.

Pasca orba (masa reformasi), era kebebasan pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah menjadi sistem pers liberal. Hal ini dapat dilihat melalui minimnya self censhorsip pada media, artinya media lemah dalam melihat apakah suatu berita layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Muncul pula kecenderungan media untuk mengadili seseorang bersalah sebelum munculnya keputusan hukum oleh pengadilan. Hal ini dapat dilihat pada kasus Soeharto.

Pada awal-awal masa reformasi, media seakan-akan berlomba untuk mengadili sosok Soeharto Namun lambat laun sistem pers Indonesia mulai berubah dan menyesuaikan dengan ideologi serta etika dan moral yang berkembang di masyarakat. Mulai selektifnya masyarakat dalam memilih media yang akan dikonsumsi menyebabkan lambat laun media-media jurnalisme “lher” hilang dengan sendirinya karena kurang mampu bersaing dengan media-media yang lebih berkulitas dan edukatif dalam menyampaikan informasi.ada masa reformasi terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Saat ini, Indonesia menganut sistem Tanggung Jawab Sosial. Dasar dari Teori ini adalah kebebasan tetap terkandung tanggung jawab yang sepadan, dan pers telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggung jawab kepada masyarakat modern. Asal saja pers tahu tanggung jawabnya dan menjadikan itu landasan operasional mereka.Menurut McQuail (1983), teori tersebut bermula di Amerika Syarikat pada abad 20, hasil daripada tulisan W.E. Hocking, kebebasan Media dan pengamal serta, kod media. Hanya bertujuan untuk memberitahu, menghibur, menjual. Tetapi tujuan asasnya adalah untuk mengemukakan konflik ke meja perundingan. Di bawah sistem ini media harus mengandaikan kewajiban dan tanggungjawab sosial dan jika mereka tidak melakukannya, seseorang harus menentukan supaya ia dilaksanakan (Anom, 2011, h.103)

Teori Tanggung Jawab Sosial, merupakan pengembangan dari teori media libertarian. Teori ini lahir salah satunya kerana revolusi teknologi dan industri yang merubah wajah dan cara hidup bangsa Amerika yang turut mempengaruhi media. Perlu dilihat dalam teori tanggungjawab sosial adalah bagaimana hubungan antara media dan pemerintah dipahami (Anom, 2011, h.103)

Mengacu pada pasal 28 UUD 1945, maka kebebasan pers mendapat jaminan yang cukup kuat untuk melaksanakan fungsinya, yaitu melayani sistem politik dengan menyediakan ruang diskusi bagi masyarakat untuk berdebat terutama dalam masalah kebijakan public, menjadi penjaga dari hak-hak perorangan warga Negara, dan mebiayai financial secara mandiri (Peterson dalam Syahri, 2002, h. 114)

Kontrol sosial yang dimaksud bahwa pers memposisikan sebagai kakuatan ke-empat (four estate) untuk mengontrol lembaga-lembaga politik lain yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif dalam menjalankan fungsinya. Jika ada penyelewengan yang dilakukan oleh ke tiga lembaga tersebut maka pers akan mengontrol lewat pemberitaan dan pada akhirnya publik akan tahu dan ikut berpartisipasi dalam proses keputusan suatu kebijakan lewat diskusi di media. Selanjutnya secara operasional pers harus dapat menghidupi diri sendiri tanpa meminta bantuan kepada pemerintah. Ini diperlukan untuk menghindari tekanan-tekanan dari pihak pemerintah (Peterson dalam Syahri, 2002, h.114)
2. Tentang Sistem Pers Indonesia

      Setelah mengetahui empat teori pers yang ada di dunia, lantas kita tentu bertanya. Termasuk dalam kategori manakah teori pers yang dianut di Indonesia? Sistem pers Indonesia tidak dapat dikategorikan pada salah satu teori pers yang dikemukakan Siebert dan kawan-kawanya. Meskipun mendekati teori tanggung jawab sosial, tetapi sistem pers Indonesia tidak identik dengan teori tanggung jawab sosial.
      Sistem pers Indonesia memiliki kekhasan karena ideologi dan falsafah negara Indonesia yakni Pancasila dan budaya masyarakat Indonesia yang khas pula. Selanjutnya sistem pers Indonesia disebut sebagai Pers Pancasila, sebagaimana yang selalu dikatakan oleh Menteri Penerangan RI pada saat itu beserta jajarannya, yang juga disepakati oleh insan pers Indonesia.

Media massa Indonesia sebagai suatu sistem, terkait dengan aspek-aspek lainnya yang tertuang dalam Keputusan Dewan Pers No. 79/XIV/1974 yang intinya mengemukakan bahwa kebebasan pers (media massa) Indonesia berlandaskan pada hal-hal:
  • Idiil: Pancasila 
  • Konstitusional: Undang-undang dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR. 
  • Strategis: Garis-Garis Besar Haluan Negara 
  • Yuridis: Undang-undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982. (Masa mendatang ditambah dengan Undang-Undang Penyiaran yang sedang dalam proses “pembuatan”. 
  • Kemasyarakatan: Tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia. 
  • Etis: Norma-norma kode etik profesional.
Pers Indonesia memunyai kewajiban:
  • Mempertahankan, membela mendukung dan melaksanakan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen; 
  • Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang berlandaskan Demokrasi Pancasila: 
  • Memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers; 
  • Membina persatuan dan menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme/diktator; 
  • Menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktif dan progresif-revolusioner (UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1982 Pasal 2).
Kebebasan pers Indonesia dijamin oleh Pasal 28 UUD 45 yang intinya mengemukakan bahwa setiap warga negara Indonesia bebas mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian setiap warga negara memunyai hak penerbitan pers asal sesuai dengan hakikat Demokrasi Pancasila (UU Pokok Pers No. 11 Tahun 1982).


Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung jawab yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Misalnya setiap pemberitaan atau jenis pesan komunikasi lainnya tidak boleh menyinggung “SARA” (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan masyarakat dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.


Hal lainnya yang tidak boleh dilakukan adalah menghina Kepala Negara dan menghina aparatur pemerintah yang sedang bertugas. Apabila media massa melakukan pelanggaran, maka pemimpin redaksi tersebut akan dapat diajukan ke pengadilan.


Fenomena pers di Indonesia dan saat ini

      Pada masa reformasi, pemerintah juga memberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Akibat kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru.[11]Kebijakan lain Pemerintah Kabinet Reformasi dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat dipandang sebagai cerminan euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat menjadi ajang kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan profesionalitas mereka.


Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, departemen penerangan yang dianggap mengekang pers dibubarkan. Pemerintah tidak mempunyai ruang untuk mengekang pers. Pers yang tadinya diawasi dengan ketat oleh pemerintah pada masa reformasi ditiadakan. Yang ada hanya Dewan Pers yang bertugas untuk mengawasi dan menetapkan pelaksanaan kode etik, juga sebagai mediator antara masyarakat, pers dan pemerintah apabila ada yang dirugikan.


Pelaksanaan kebebasan pers pada era reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan surat kabar atau media, serta didirikannya partai-partai politik. Fenomena euphoria kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers. Dalam realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh berkurang, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali terhadap pers. Pergulatan pers dengan sebuah rezim seolah telah usai. Pada masa reformasi pers sepenuhnya bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media yang sudah mapan secara ekonomis di masa Orde Baru. Untuk sementara pers Indonesia boleh bernafas lega dari tekanan politis sambil mencari keuntungan uang sebanyak mungkin. Fenomena ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media, seperti Gramedia Grup, Sinar Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo Grup, dan Grafiti / Jawa Pos Grup.


Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar