Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang besar
tentunya juga memiliki pengaruh dan hubungan ke negara-negara tetangganya itu.
Bahkan hubungan itu sudah ada sejak zaman dulu kala.Indonesia adalah negara
kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki 13.487 pulau besar dan kecil, sekitar
6.000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar khatulistiwa,
yang memberikan cuaca tropis.Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU -
11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°45'BT serta terletak di antara dua benua yaitu
benua Asia dan benua Australia atau Oseania.
Batas darat wilayah Republik Indonesia
berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini dan Timor
Leste. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu
India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau,
Australia, Timor Leste dan Papua Nugini. Wilayah perbatasan laut pada umumnya
berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau
kecil.Sebelah utara Indonesia berbatasan dengan Malaysia yang berupa daratan di
Pulau Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Barat dan Timur. Selain batas darat,
juga berbatasan laut dengan negara Singapura, Malaysia, Filipina. Di sebelah
timur, berbatasan darat dan laut dengan Papua Nugini di Pulau Irian Jaya.
Sebelah selatan berbatasan darat dengan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur dan
berbatasan laut dengan Australia di Samudra Hindia. Di sebelah barat berbatasan
dengan Samudra Hindia. Masalah perbatasan wilayah Indonesia bukan lagi menjadi
hal baru saat ini. Sejak Indonesia menjadi negara yang berdaulat, perbatasan
sudah menjadi masalah yang bahkan belum menemukan titik terang sampai saat ini.
Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik yang telah
disepakati namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di daerah tersebut,
misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan lain di sekitar wilayah
perbatasan.
Ada 10 negara tetangga yang
perairannya berbatasan langsung dengan wilayah Nusantara. Mereka adalah
Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua New Guinea,
Australia, Republik Palau dan TimorLeste.
1. Perbatasan Indonesia Dengan Malaysia
Secara administratif, kawasan
perbatasan darat Indonesia-Malaysia meliputi 2 (dua) provinsi yaitu Provinsi
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, dan terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten,
yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan
Barat), Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan Timur).
Garis perbatasan darat di Pulau
Kalimantan yang berbatasan dengan negara bagian Sabah dan Sarawak Malaysia
secara keseluruhan memiliki panjang 1.885,3 km. Jumlah pilar batas yang ada
hingga tahun 2007 secara keseluruhan berjumlah 9.685 buah, terdiri dari pilar
batas tipe A sebanyak 4 unit, tipe B sebanyak 18 unit, tipe C sebanyak 225 unit
dan tipe D sebanyak 9438 unit. Kondisi tugu batas pada umumnya masih memprihatinkan
dan jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan panjang garuis perbatasan yang
ada.
Berdasarkan perjanjian Lintas Batas
antara Indonesia dan Malaysia tahun 2006, secara keseluruhan telah disepakati
sebanyak 18 pintu batas (exit and entry point) di kawasan ini. Hingga tahun
2007, baru terdapat 2 (dua) pintu batas resmi yaitu di Entikong, kabupaten
Sanggau dan Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu).Adanya keterikatan kekeluargaan
dan suku antara masyarakat Indonesia dan Malaysia di kawasan ini menyebabkan
terjadinya arus orang dan perdagangan barang yang bersifat tradisional melalui
pintu-pintu perbatasan yang belum resmi.
Dari sisi keamanan, kawasan ini
didukung oleh 26 pos pengamanan perbatasan (Pos Pamtas) yang diisi oleh aparat
militer. Sarana prasarana keamanan dalam jumlah dan kualitas yang memadai
sangat diperlukan, karena kawasan ini dicirikan oleh tingginya
kegiatan-kegiatan ilegal sekitar di garis perbatasan, dalam bentuk pembalakan
liar, penyelundupan barang, tenaga kerja ilegal, dan sebagainya.
Potensi sumberdaya alam wilayah
perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi,
terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung, taman nasional, dan
danau alam, yang semuanya dapat dikembangkan menjadi daerah wisata alam
(ekowisata). Beberapa areal hutan tertentu yang telah dikonversi tersebut telah
berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang dilakukan oleh beberapa
perusahaan swasta nasional maupun yang bekerjasama dengan perkebunan asing yang
umumnya berasal Malaysia. Namun demikian secara umum infrastruktur sosial
ekonomi di kawasan ini, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, maupun sarana
prasarana penunjang wilayah, masih memerlukan banyak peningkatan. Jika
dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, kawasan ini masih relatif
tertinggal pembangunannya.
2. Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea
Sebelum mengalami pemekaran
kabupaten, kawasan perbatasan di Papua terletak di 4 (empat) kabupaten yaitu
Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Merauke.
Setelah adanya pemekaran wilayah kabupaten, maka kawasan perbatasan di Papua
terletak di 5 (lima) wilayah kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura, Kabupaten
Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten
Merauke, serta 23 (dua puluh tiga) wilayah kecamatan (distrik). Dari kelima
kabupaten tersebut, Kabupaten Keerom, Pegunungan Bintang dan Boven Digoel
merupakan kabupaten baru hasil pemekaran.
Garis perbatasan darat antara Indonesia dan
PNG di Papua memanjang sekitar 760 kilometer dari Skouw, Jayapura di sebelah utara sampai muara sungai
Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Garis batas ini ditetapkan melalui
perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada tanggal 16 Mei 1895.
Jumlah pilar batas di kawasan perbatasan Papua hingga saat ini masih sangat
terbatas, yaitu hanya 52 buah. Jumlah pilar batas ini tentu sangat tidak
memadai untuk suatu kawasan perbatasan yang sering dijadikan tempat
persembunyian dan penyeberangan secara gelap oleh kelompok separatis kedua
negara. Kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidaktahuan masyarakat di sekitar
perbatasan terhadap garis batas yang memisahkan kedua negara, bahkan diantara
penduduk tersebut banyak yang belum memiliki tanda pengenal atau identitas diri
seperti kartu tanda penduduk atau tanda pengenal lainnya.
Pintu atau pos perbatasan di kawasan
perbatasan Papua terdapat di Distrik Muara Tami Kota Jayapura dan di Distrik
Sota Kabupaten Merauke. Kondisi pintu perbatasan di Kota Jayapura masih belum
dimanfaatkan secara optimal sebagaimana pintu perbatasan di Sanggau dan
Nunukan, karena fasilitas CIQS-nya belum lengkap tersedia. Pada umumnya
aktifitas pelintas batas masih berupa pelintas batas tradisional seperti yang
dilakukan oleh kerabat dekat atau saudara dari Papua ke PNG dan sebaliknya,
sedangkan kegiatan ekonomi seperti perdagangan komoditas antara kedua negara
melalui pintu batas di Jayapura masih sangat terbatas pada perdagangan barang-barang
kebutuhan sehari-hari dan alat-alat rumah tangga yang tersedia di Jayapura. Kegiatan pelintas
batas di pintu perbatasan di Marauke relatif lebih terbatas dibanding dengan
Jayapura, dengan kegiatan utama arus lintas batas masyarakat kedua negara dalam
rangka kunjungan keluarga dan perdagangan tradisional. Kegiatan perdagangan
yang relatif lebih besar justru terjadi dipintu-pintu masuk tidak resmi yang
menghubungkan masyarakat kedua negara secara ilegal tanpa adanya pos lintas batas atau pos
keamanan resmi.
Kawasan perbatasan Papua memiliki
sumberdaya alam yang sangat besar berupa hutan, baik hutan konversi maupun
hutan lindung dan taman nasional yang ada di sepanjang perbatasan. Kondisi
hutan yang terbentang di sepanjang perbatasan tersebut hampir seluruhnya masih
belum tersentuh atau dieksploitasi kecuali di beberapa lokasi yang telah
dikembangkan sebagai hutan konversi. Selain sumberdaya hutan, kawasan ini juga
memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar dari sungai-sungai yang
mengalir di sepanjang perbatasan. Demikian pula kandungan mineral dan logam
yang berada di dalam tanah yang belum dikembangkan seperti tembaga, emas, dan
jenis logam lainnya yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Secara fisik kondisi
kawasan perbatasan di Papua bergunung dan berbukit yang sulit ditembus dengan
sarana perhubungan biasa atau kendaraan roda empat. Sarana perhubungan yang
memungkinkan untuk mencapai kawasan perbatasan adalah pesawat terbang perintis
dan pesawat helikopter yang sewaktu-waktu digunakan oleh pejabat dan aparat
pemerintah pusat dan daerah untuk mengunjungi kawasan tersebut Sebagaimana di
daerah lainnya kondisi masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan Papua
sebagian besar masih miskin, tingkat kesejahteraan rendah, tertinggal serta
kurang mendapat perhatian dari aparat pemerintah daerah maupun pusat. Kondisi masyarakat Papua di sepanjang
perbatasan yang miskin, tertinggal dan terisolir ini tidak jauh berbeda dan
relatif setara dengan masyarakat di PNG. Melalui bantuan sosial yang banyak
dilakukan oleh para misionaris yang beroperasi dalam rangka pelayanan
kerohanian menggunakan pesawat milik gereja, banyak masyarakat yang tertolong
dan dibantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Fasilitas perhubungan
milik misionaris ini bahkan dimanfaatkan oleh para pejabat daerah dalam
melakukan kunjungan kerjanya di kawasan perbatasan.
Pengaruh Indonesia bagi Papua New
Guinea adalah penamaan kata Papua yang melekat pada nama Papua New Guinea. Nama Papua
New Guinea sebenarnya mendapat pengaruh dari penamaan yang diberikan Kesultanan
Tidore yang terletak di Maluku Utara. Nama Papua disebut orang Tidore sedangkan
Guinea merupakan sebutan dari orang Eropa. Papua new Guinea dianggap mirip
dengan Guinea di wilayah Afrika. Nama Papua sebenarnya diberikan oleh Sultan
Cirilyati alias Muhammad Nakil Tahun 1110 untuk Pulau Papua. Papua New Guinea memiliki kesamaan ras dengan
masyarakat Papua di Indonesia, yaitu ras Melanesia.
3. Perbatasan Indonesia dengan
Timor Leste
Kawasan perbatasan antarnegara
dengan Timor Leste di NTT merupakan kawasan perbatasan antarnegara yang terbaru
mengingat Timor Leste merupakan negara yang baru terbentuk dan sebelumnya
adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Perbatasan antarnegara di NTT terletak
di 3 (tiga) kabupaten yaitu Belu, Kupang, dan Timor Leste Utara (TTU). Perbatasan antarnegara di Belu terletak
memanjang dari utara ke selatan bagian pulau Timor, sedangkan Kabupaten Kupang
dan TTU berbatasan dengan salah satu wilayah Timor Leste, yaitu Oekussi, yang
terpisah dan berada di tengah wilayah Indonesia (enclave). Garis batas antarnegara di NTT ini terletak
di 9 (sembilan) kecamatan, yaitu 1 (satu) kecamatan di Kabupaten Kupang, 3
(tiga) kecamatan di Kabupaten TTU, dan 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Belu.
Pintu perbatasan di NTT terdapat
di beberapa kecamatan yang berada di tiga kabupaten tersebut, namun pintu
perbatasan yang relatif lengkap dan sering digunakan sebagai akses lintas batas
adalah di Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Fasilitas perbatasan yang
ada seperti CIQS, sudah cukup lengkap walaupun masih darurat, seperti kantor kantor
bea cukai yang belum dilengkapi dengan alat detektor/scanbagi barang yang masuk
dan keluar NTT, kantor imigrasi yang masih sangat sederhana, karantina hewan
dan tumbuhan, serta pos keamanan yang juga masih sederhana.
Prasarana pasar di perbatasan yang
terletak di dekat pintu perbatasan rusak berat akibat perusakan oleh sekelompok
orang dalam insiden yang terjadi pada tahun 2003, sehingga dipindahkan ke
tempat lain dan saat ini masih dalam kondisi darurat, sedangkan sarana dan
prasarana lain seperti sekolah dan pusat kesehatan masyarakat telah tersedia
walau dalam kondisi yang belum baik. Fasilitas-fasilitas sosial yang telah ada
dibangun oleh pemerintah pusat dan daerah untuk kebutuhan para pengungsi.
Sarana dan prasarana perhubungan darat maupun laut ke pintu perbatasan Timor
Leste cukup baik, sehingga akses kedua pihak untuk saling berkunjung relatif
mudah dan cepat. Kondisi jalan dari Atambua, ibukota Belu, menuju pintu
perbatasan cukup baik kualitasnya, sehingga perjalanan dapat ditempuh dalam waktu
satu setengah jam. Hal ini dapat
dimengerti karena kedua daerah NTT dan Timor Leste sebelumnya merupakan dua
Provinsi yang bertetangga, sedangkan hubungan udara telah dipenuhi oleh
maskapai penerbangan Merpati yang memiliki penerbangan regular dari Bali ke
Dili.
Kegiatan perdagangan lintas batas
yang terjadi sebagian besar adalah
perdagangan kebutuhan alat-alat rumah tangga dan bahan makanan lainnya
yang tersedia di kawasan perdagangan atau di Atambua, ibukota kabupaten Belu.
Kegiatan lintas batas lainnya adalah kunjungan kekerabatan antar keluarga
karena banyaknya masyarakat eks pengungsi Timor Leste yang masih tinggal di
wilayah Atambua, sedangkan warga Indonesia lainnya yang berkunjung ke Timor
Leste adalah dalam rangka melakukan kegiatan perdagangan bahan makanan dan
komoditi lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat Timor Leste. Kegiatan lintas
batas yang sering terjadi adalah lintas batas tradisional melalui jalan masuk
yang dahulu pernah digunakan sebagai jalan biasa sewaktu Timor Leste masih menjadi
salah satu Provinsi Indonesia, seperti yang ada di perbatasan antara Kabupaten
TTU (Provinsi NTT) dan Oekussi (Timor Leste). Untuk memfasilitasi warganya di
Oekussi mengunjungi wilayah Timor Leste lainnya, Pemerintah Timor Leste
mengusulkan adanya ijin bagi warga Oekussi untuk menggunakan prasarana jalan
dari Oekussi ke wilayah utama Timor Leste.
Namun usulan ini masih belum ditanggapi oleh pihak Republik Indonesia.
Potensi sumberdaya alam yang
tersedia di kawasan perbatasan NTT pada umumnya tidak terlalu besar, mengingat
kondisi lahan di sepanjang perbatasan tergolong kurang baik bagi pengembangan
pertanian, sedangkan hutan di sepanjang perbatasan bukan merupakan hutan
produksi atau konversi serta hutan lindung atau taman nasional yang perlu
dilindungi.
Kondisi masyarakat di sepanjang perbatasan umumnya miskin dengan tingkat
kesejahteraan yang rendah dan tinggal di wilayah terisolir. Sumber mata
pencaharian utama masyarakat di kawasan perbatasan adalah kegiatan pertanian
lahan kering yang sangat tergantung pada hujan. Kondisi masyarakat di wilayah
Indonesia ini saat ini pada umumnya bahkan masih relatif lebih baik dari
masyarakat Timor Leste yang tinggal di sekitar perbatasan. Dengan demikian,
kawasan perbatasan di NTT khususnya di lima kecamatan yang berbatasan langsung
dengan Timor Leste maupun daerah NTT secara keseluruhan perlu diperhatikan
secara khusus karena dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan yang cukup tajam
antara masyarakat NTT di perbatasan dengan masyarakat Timor Leste, khususnya
penduduk Belu yang sebagian besar masih miskin.
Timor Leste merupakan bekas wilayah
Indonesia. Timor Leste melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada 30 Agustus 1999 melalui sebuah referendum. Walaupun sudah lepas dari
Indonesia, Masyarakat Timor Leste masih dipengaruhi budaya Indonesia dan masih
banyak yang menggunakan bahasa Indonesia.
4. Perbatasan Indonesia dengan Singapura
Perjanjian perbatasan maritim
antara Indonesia dengan Singapura telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang
menetapkan 6 titik koordinat sebagai batas kedua negara. Perjanjian tersebut
kemudian diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1973.
Permasalahan yang muncul adalah
belum adanya perjanjian batas laut teritorial bagian timur dan barat di Selat
Singapura. Hal ini akan menimbulkan kerawanan, karena Singapura melakukan
kegiatan reklamasi wilayah daratannya. Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah
Si-ngapura bertambah ke selatan atau ke Wilayah Indonesia. Penentuan batas
maritim di sebelah Barat dan Timur Selat Singapura memerlukan perjanjian tiga
negara antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Perundingan perbatasan kedua
negara pada Segmen Timur, terakhir dilaksanakan pada 8-9 Februari 2012 di Bali
(perundingan ke-2).
Penambangan pasir laut di
perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan
Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk
jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir
pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula
menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut.
Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah
menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.
Perbatasan wilayah Laut antara RI dengan Singapura berada di Selat
Singapura. Garis Batas Laut Wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di
Selat Singapura yang sempit (lebar lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah
garis terdiri dari garis-garis lurus yang ditarik dari titik koordinat.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil
karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya
pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena
dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan
batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.
5.
Pembatasan Indonesia dengan Vietnam
Perbatasan Indonesia – Vietnam di
Laut China Selatan telah dicapai kesepakatan, terutama batas landas kontinen
pada tanggal 26 Juni 2002. Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum
diratifikasi oleh Indonesia. Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat
perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua
negara terakhir dilaksanakan pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3).
Hubungan Indonesia dan Vietnam
terutama pada masa kemerdekaan terbilang cukup dekat. Ho Chi Minh sebagai tokoh
pemimpin Vietnam Merdeka pada akhir 1945 pernah mengirim surat kepada para
pemimpin Republik Indonesia di Jakarta. Ho Chi Minh mengajak para pemimpin
Indonesia untuk mengkoordinasikan perjuangan mereka masing-masing dalam
menghadapi "imperialisme dan kapitalisme Barat". Surat itu akhirnya
diserahkan kepada Perdana Menteri Sutan Syahrir. Namun karena Indonesia masih
disibukkan dengan Belanda maka permintaan itu sulit dipenuhi. Setelah sama-sama merdeka Presiden pertama
Indonesia, Bung Karno dan Ho Chi Minh berkawan sangat dekat. Indonesia juga
ternyata memiliki pengaruh terhadap kemenangan perang Vietnam terhadap Amerika
walau hanya dari buku karangan Jenderal dari Indonesia. Beberapa pimpinan gerilyawan Vietkong mengatakan
bahwa mereka membaca buku “Pokok-Pokok Perang Gerilya” karangan Jendral AH
Nasution dan menjadikannya pedoman mereka dalam menetapkan strategi.
Wilayah perbatasan antara Pulau
Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak
lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih
menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua
belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas
kontinen di kawasan tersebut.
6. Pembatasan Indonesia dengan
Philipina
Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6
kali yang dilaksanakan secara bergantian setiap
3 – 4 bulan sekali. Dalam perundingan di Manado tahun 2004, Philipina
sudah tidak mempermasalahkan lagi status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui
sebagai milik Indonesia.
Hasil perundingan terakhir
penentuan garis batas maritim Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember
2005 di Batam. Indonesia menggunakan metode proportionality dengan
memperhitungkan lenght of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina
memakai metode median line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua
negara sepakat membentuk Technical Sub-Working Groupuntuk membicarakan secara
teknis opsi-opsi yang akan diambil.
Belum adanya kesepakatan tentang
batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan
Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina
yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral
Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat
dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara
bilateral.
Perbatasan wilayah laut antara Indonesia
dengan Filipina berada di laut Sulawesi dan perairan selatan P.Mindanao.
Indonesia dan Filipina memiliki perbatasan maritim di perairan sekitar Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik. Kedua negara memiliki wilayah laut yang saling
berhadapan dan berdampingan. Akibatnya penarikan garis batas ZEE tidak bisa
mencapai 200 mil. Namun akhirnya Presiden Benigno Aquino dan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyepakati batas wilayah di Zona Ekonomi Eksklusif di Laut
Mindanao dan Laut Celebes. Perjanjian ini ditandatangani Istana Malacanang di
Manila, Filipina, Jumat (23/5/2014).
Zaman dulu pengaruh kerajaan Majapahit
telah mencapai kepulauan Filipina. Bahkan pada masa modern Filipina tetap
merasa merupakan bangsa Melayu yang sama dengan Indonesia.
Indonesia-Filipina-Malaysia pernah berencana mendirikan Maphilindo, singkatan
dari Malaysia-Philipina-Indonesia di Manila pada 1963. Para presiden dari
ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan negara
mereka ke dalam Maphilindo. Presiden Filipina, Diosdado Macapagal menggagas
Maphilindo sebagai realisasi amanat pendiri bangsa, Joze Rizal, untuk
menyatukan kembali bangsa-bangsa Melayu yang telah terpecah belah akibat
koloni.
7. Perbatasan Indonesia dengan Palau
Perbatasan Indonesia dengan Palau
terletak di sebelah utara Papua. Palau telah menerbitkan peta yang menggambarkan
rencana batas “Zona Perikanan/ZEE” yang
diduga melampaui batas yurisdiksi wilayah Indonesia. Hal ini terbukti dengan
banyaknya nelayan Indonesia yang melanggar wilayah perikanan Palau.
Permasalahan ini timbul karena jarak antara Palau dengan Wilayah Indonesia
kurang dari 400 mil sehingga ada daerah yang overlapping untuk ZEE dan Landas
Kontinen. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 29
Februari - 1 Maret 2012 di Manila (perundingan ke-3).
Banyak orang Indonesia yang tidak
mengenal negara pulau ini walaupun merupakan negara tetangga. Penghuni asli
Palau adalah orang-orang beretnik Mikronesia. Negara ini merdeka pada tahun
1994 dari Wilayah Perwalian Kepulauan Pasifik yang diperintah Amerika Serikat.
Nenek moyang Palau dipercaya juga berasal dari Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Tapi mungkin imigrasi
perpindahan itu terjadi sejak lama sekitar 4000 tahun yang lalu.
8. Pembatasan Indonesia dengan Australia
Perjanjian Batas Landas Kontinen
antara Indonesia-Australia yang dibuat pada 9 Oktober 1972 tidak mencakup gap
sepanjang 130 mil di selatan Timor Leste. Perbatasan Landas Kontinen dan ZEE
yang lain, yaitu menyangkut Pulau Ashmore dan Cartier serta Pulau Christmas
telah disepakati dan telah ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 14
Maret 1997, sehingga praktis tidak ada masalah lagi. Mengenai batas maritim
antara Indonesia – Australia telah dicapai kesepakatan yang ditandatangani pada
1969, 1972 dan terakhir 1997.
Perjanjian perbatasan
RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani
pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar
wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste
Hubungan Indonesia dengan penduduk di
benua Australia terutama penduduk asli sudah ada sejak dulu. James Cook mengaku
menemukan benua itu namun jauh sebelum orang eropa, orang Makassar sudah ke
benua itu. Para nelayan Makassar sudah lebih dulu berlayar ke benua Australia
yang diperkirakan sejak tahun 1650 untuk mengumpulkan teripang. Orang Makassar
menyebut kawasan Utara Australia dengan sebutan Marege. Bahkan orang Makassar
memberikan pengaruh bagi penduduk asli Australia utara. Penduduk asli Australia
bagian utara sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya para penangkap tripang yang
berasal dari Makassar
9. Pembatasan Indonesia dengan Thailand
Indonesia dan Thailand telah mengadakan
perjanjian landas kontinen di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971, perjanjian
tersebut telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1972. Perjanjian
perbatasan tersebut merupakan batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan
Laut Andaman. Selain itu juga telah dilaksanakan perjanjian batas landas
kontinen antara tiga negara yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia yang
diadakan di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971. Perjanjian ini telah
diratifikasi dengan Keppres Nomor 20 Tahun 1972.
Perbatasan antara Indonesia
dengan Thailand yang belum diselesaikan khususnya adalah perjanjian ZEE Garis Batas Landas Kontinen indonesia dan
Thailand adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke arah Tenggara.
Hal itu disepakati dalam perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Thailand
tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11 Desember 1973.
Hubungan antara Thailand dan
Indonesia telah berlangsung semenjak zaman dulu. Bahkan di Bangkok ada Kampung
yang dihuni oleh orang-orang Jawa sejak zaman dulu. Pada masa pemerintahan Raja
Chulalongkorn atau Raja Rama ke-5, orang-orang Jawa ini diminta untuk membangun
taman di Grand Palace dan beberapa bangunan pemerintah lainnya.
Ditinjau dari segi geografis,
kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu
kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh,
RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua
titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut
Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan
Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan
oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat
pantai Indonesia.
10. Pembatasan Indonesia dengan India
Indonesia dan India telah
mengadakan perjanjian batas landas kontinen di Jakarta pada tanggal 8 Agustus
1974 dan telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 51 Tahun 1974 yang meliputi
perbatasan antara Pulau Sumatera dengan Nicobar.
Selanjutnya dilakukan perjanjian
perpanjangan batas landas kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977
dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi Laut Andaman
dan Samudera Hindia.
Perbatasan tiga negara,
Indonesia-India- Thailand juga telah diselesaikan, terutama batas landas
kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau Nicobar dan Andaman. Perjanjian
dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni 1978 dan diratifikasi dengan
Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua negara belum membuat perjanjian
perbatasan ZEE.
Indonesia dan India telah
mengadakan perjanjian batas landas kontinen di Jakarta pada tanggal 8 Agustus
1974 dan telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 51 Tahun 1974 yang meliputi
perbatasan antara Pulau Sumatera dengan Nicobar.
Selanjutnya dilakukan perjanjian
perpanjangan batas landas kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977
dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi Laut Andaman
dan Samudera Hindia.
Perbatasan tiga negara,
Indonesia-India- Thailand juga telah diselesaikan, terutama batas landas
kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau Nicobar dan Andaman. Perjanjian
dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni 1978 dan diratifikasi dengan
Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua negara belum membuat
perjanjian perbatasan ZEE.
Sumber yg saya dapat :
makasih artikelnya
BalasHapusKunjungi juga blog saya ya kak :) artikelpandai.com
BalasHapus